Sabtu (4 November 1950) sore Letkol Ignatius Slamet Rijadi memerintahkan pasukan Groep II Komando Pasukan Maluku Selatan atau KP Malsel mendekati Benteng Victoria, Ambon. Menurut laporan intelijen, di benteng bekas VOC itu masih bertahan sisa-sisa pasukan Republik Maluku Selatan (RMS). Pada sisi lain, Pak Met, begitu panggilan akrabnya dari semua anak buahnya, juga menerima informasi, benteng itu pada Jumat siang sudah bisa direbut oleh pasukan Mayor Lukas Koestarjo dari Divisi Siliwangi.
Slamet Rijadi ada di dalam panser paling depan, dikemudikan Kapten Klees, Komandan Eskader Kavaleri. Di belakangnya, dua panser lain mengikuti. Tiba-tiba tembakan gencar berdatangan dari arah benteng, langsung menghujani pertahanan pasukan TNI. Pak Met kaget. Sementara itu, Klees langsung memerintahkan anak buahnya segera membalas tembakan. Tiba-tiba Pak Met berteriak, “Stop het veuren. Hentikan tembakan.”“Mengapa Overste?” tanya Kapten Klees heran.
Pak Met menukas, “Ini semua salah paham. Lihat, mereka semua mengibarkan Merah Putih dari dalam benteng. Pasti mereka TNI, anak-anak Siliwangi. Saya akan keluar memastikan….”
Klees berusaha mempertahankan pendapatnya, “Overste, saya bekas KNIL. Saya tahu cara bertempur mereka. Bisa saya pastikan, mereka adalah bekas KNIL yang bergabung ke RMS. Jangan hiraukan mereka, meski mereka mengibarkan Merah Putih….”
Jawaban Pak Met amat mengejutkan, “Saya Komandan KP Malsel. Lihat tembakan mereka sudah berhenti. Saya akan keluar untuk lebih memastikan, buka canopy (kubah) panser.”
“Siap Overste,” jawab Klees sambil menarik tungkai pembuka kubah panser. Pak Met keluar panser, tanpa memakai topi baja. Hanya membawa teropong sambil berkalungkan owen gun, senapan otomatis kesayangannya.
Apa yang dikawatirkan Klees menjadi kenyataan. Slamet Rijadi tidak pernah tahu bahwa pada Sabtu dini hari pasukan komando RMS telah menguasai kembali Benteng Victoria sekaligus mengusir keluar anak buah Lukas Koestarjo. Maka, apa yang disangka Slamet Rijadi bahwa benteng itu masih dikuasai TNI, keliru. Seorang sniper (penembak jitu) RMS dari atas Benteng Victoria Sabtu sore itu bagai menemukan durian runtuh. Dengan jelas, dia melihat Slamet Rijadi keluar dari dalam panser. Sebuah tembakan langsung terdengar, pelurunya meluncur tepat mengenai bagian perut Pak Met.
Melihat tubuh komandannya jatuh, Klees langsung memerintahkan kedua panser lain menghujani benteng dengan tembakan gencar. Tindakan itu agar bisa memberi kesempatan kepada dirinya membawa Pak Met ke garis belakang di Laha. Tubuh Slamet Rijadi langsung diangkut ke KM Waibalong yang membuang sauh di depan Pelabuhan Laha. Beberapa jam kemudian, Mayor Dr Abdullah, perwira kesehatan, memberi laporan kepada Kolonel Alex Kawilarang, Panglima KP Malsel, “Letnan Kolonel Ignatius Slamet Rijadi gugur pada sekitar pukul 11.30 Sabtu malam….”
Ganti nama
Pemerintah mengangkat Brigadir Jenderal (Anumerta) Slamet Rijadi sebagai Pahlawan Nasional. Dalam upacara di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyampaikan anugerah Bintang Mahaputera Utama. Lalu, pada hari Senin tanggal 12 Nopember 2007, KSAD Jenderal Djoko Santoso bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peresmian patung Ignatius Slamet Rijadi di Jalan Slamet Rijadi, jalan raya yang membelah kota Solo, Jawa Tengah.
Slamet Rijadi dilahirkan di Kampung Danukusuman Solo pada Rebo Pon, 28 Mei 1926 dengan nama Soekamto. Karena semasa kecil sering sakit, namanya diganti menjadi Slamet. “…ketika di SMP Negeri II Solo banyak anak bernama Slamet. Maka oleh gurunya diberi tambahan nama, maka jadilah sampai sekarang Slamet Rijadi,” kata Kolonel (Purn) Soejoto, teman main Pak Met sejak kecil, yang kemudian menjadi anak buah saat bergerilya di daerah Solo, menumpas gerombolan DI di Jawa Barat, dan dalam operasi menumpas RMS mulai dari Pulau Buru sampai ke Pulau Ambon, Maluku.
Dengan demikian, Pak Met gugur saat usianya belum genap 24 tahun. Namun, meski hidupnya amat singkat, jejak serta teladan yang ditinggalkan amat mengesankan. Dia tidak hanya seorang jago tempur, yang dilakukan secara otodidak dengan belajar dari buku dan majalah militer, oleh karena dia terjun menjadi anggota militer semata-mata untuk memenuhi panggilan revolusi sehingga bukan lewat jalur formal.
Namun, Pak Met, amat berbeda dengan para pemimpin perang lain, meninggalkan naskah tertulis yang masih bisa dipakai sampai hari ini dalam judul Pedoman Gerilya I dan II. Bahkan, berbeda dengan AH Nasution atau TB Simatupang, yang menulis bukunya sesudah perang selesai. “Pak Met menulis di tengah pertempuran, berdasarkan pengalaman yang ditemukan selama perang. Salah satu yang legendaris adalah petunjuknya, de beste verdediging ligt juist in de anvall. Pertahanan terbaik teletak pada penyerangan, ” kata Kolonel (Purn) Aloysius Soegianto, tokoh intelijen sekaligus bekas ajudan Pak Met.
Pasukan komando
Seusai operasi penumpasan RMS, saat Alex Kawilarang sudah diangkat sebagai Panglima Siliwangi, dia teringat gagasan Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan komando, “…yang terampil dalam bertempur dalam semua medan sekaligus mahir menggunakan aneka macam senjata.”
Kawilarang memerintakan Soegianto mencari Visser, bekas kapten pasukan komando Belanda, yang karena bercerai minta pensiun dini dan tidak mau pulang ke Negeri Belanda.
Soegianto mengungkapkan, “Visser saya temukan sudah menjadi petani kembang di Pacet dan berganti nama jadi Mohammad Idjon Djanbi. Dia lalu diaktifkan sebagai mayor dalam dinas TNI oleh Panglima Kawilarang, diminta melatih dan membentuk pasukan komando.” Jadilah kemudian pasukan Baret Merah KKAD (Kesatuan Komando Angkatan Darat) yang nantinya tumbuh menjadi RPKAD, Sandi Yudha, dan kini dikenal sebagai Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI Angkatan Darat. Karena itu, Pak Met juga dikenal sebagai tokoh penggagas terbentuknya pasukan komando di Indonesia.
Pak Met gugur dalam usia muda. Namun, dia telah meninggalkan jejak panjang dan sangat bermakna. Khususnya sebuah teladan dalam perjuangan menegakkan Republik Proklamasi serta menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang yang dipimpin oleh Tyokan Watanabe yang merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Ken Pei Tai (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Ken Pei Tai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.
Karir militer
Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidikan di HIS, ke Mulo Afd. B dan kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi, dan memperoleh ijazah navigasi laut dengan peringkat pertama dan mengikuti kursus tambahan dengan menjadi navigator pada kapal kayu yang berlayar antar pulau Nusantara. Setelah pasukan Jepang, mendarat di Indonesia melalui Merak, Indramayu dan dekat Rembang pada tanggal 1 Maret 1942 dengan kekuatan 100.000 orang, dan walaupun memperoleh perlawanan dari Hindia Belanda, tetapi dalam waktu singkat yaitu pada tanggal 5 dan 7 Maret 1942 , kota Solo dan Yogjakarta jatuh ketangan Jepang.
Slamet Rijadi merasa terpanggil membela ibu pertiwi, dan menjelang proklamasi 1945, ia mengobarkan pemberontakan dan melarikan sebuah kapal kayu milik Jepang, usaha Ken Pei Tai untuk menangkapnya tidak pernah berhasil, bahkan setelah Jepang bertekuk lutut. Slamet Rijadi berhasil menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari pemuda-pemuda terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat Batalyon, yang dipersiapkan untuk memelopori perebutan kekuasaan politik dan militer di kota Solo dari tangan Jepang (Slamet Rijadi diangkat sebagai Komandan Batalyon Resimen I Divisi X).
Dalam perkembangannya terjadi pergantian pimpinan militer, Divisi X dirubah menjadi Divisi IV, dengan Panglimanya Mayor Jenderal Soetarto dan divisi ini dikenal dengan nama Divisi Panembahan Senopati, yang membawahi 5 Brigade tempur . Diantaranya Brigade V dibawah pimpinan Suadi dan mempunyai Batalyon XIV dibawah komando Mayor Slamet Rijadi, yang merupakan kesatuan militer yang dibanggakan. Pasukannya terkenal dengan sebutan anak buah “Pak Met”. Selama agresi Belanda II, pasukannya sangat aktif melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer Belanda, pertempuran demi pertempuran membuat sulit pasukan Belanda dalam menghadapi taktik gerilya yang dijalankan Slamet Rijadi. Namanya mulai disebut-sebut karena hampir di-setiap peristiwa perlawanan di kota Solo selalu berada dalam komandonya.
Sewaktu pecah pemberontakan PKI-Madiun, batalyon Slamet Rijadi sedang berada diluar kota Solo, yang kemudian diperintahkan secara langsung oleh Gubernur Militer II – Kolonel Gatot Subroto untuk melakukan penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya, operasi ini berjalan dengan gemilang.
Dalam palagan perang kemerdekaan II, Slamet Rijadi dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel, dengan jabatan baru Komandan “Wehrkreise I” (Penembahan Senopati) yang meliputi daerah gerilya Karesidenan Surakarta, dan dibawah komando Gubernur Militer II pada Divisi II , Kolonel Gatot Subroto. Dalam perang kemerdekaan II inilah Let.Kol. Slamet Rijadi, membuktikan kecakapannya sebagai prajurit yang tangguh dan sanggup mengimbangi kepiawaian komandan Belanda lulusan Sekolah Tinggi Militer di Breda Nederland. Siang dan malam anak buah Overste (setingkat Letnan Kolonel). Van Ohl digempur habis-habisan, dengan penghadangan, penyergapan malam, sabotase . Puncaknya ketika Let.Kol Slamet Rijadi mengambil prakarsa mengadakan “serangan umum kota Solo” yang dimulai tanggal 7 Agustus 1949, selama empat hari empat malam. Serangan itu membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ketengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk meninggal karena aksi teror Belanda, 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur.
Setelah terjadi gencatan senjata , dan pada waktu penyerahan kota Solo ke pangkuan Republik Indonesia, dari pihak Belanda diwakili oleh “Overste Van Ohl” sedangkan dari pihak R.I oleh Let.Kol. Slamet Rijadi. Ov.Van Ohl demikian terharu, bahwa Let.Kol. Slamet Rijadi yang selama ini dicari-carinya ternyata masih sangat muda . ” Oooh …Overste tidak patut menjadi musuh-ku…..” ,Overste pantas menjadi anakku, tetapi kepandaiannya seperti ayahku.
Pada akhir tahun 1949, sebagai penganut agama Katholik, Slamet Rijadi di baptis dengan nama Ignatius di Gereja Room Katholik – Solo. Pada tanggal 10 Juli 1950, Letnan Kolonel Ignatius Slamet Rijadi, berangkat dengan kapal Waikalo dan memimpin batalyon 352 untuk bergabung dengan pimpinan umum operasi – Panglima TT VII – Kolonel Kawilarang, dalam penugasan menumpas pemberontakan Kapten Andi Aziz di Makasar dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipelopori oleh Dr. Soumokil dan kawan-kawan.
0 komentar:
Posting Komentar